Pendidikan Kedokteran Benahi Hulu – Hilir

Konsekuensinya, pemerintah harus membina dan mengawasi kualitas
institusi pendidikan, menyediakan anggaran cukup untuk biaya pendidikan
kedokteran, dan memberi insentif memadai saat menempatkan dokter di
daerah tertentu. Tanpa kehadiran Negara, dalam jangka panjang,
keberadaan 83 fakultas kedokteran (FK) yang mutunya beragam dengan
sedikitnya 10.000 lulusan per tahun bisa menurunkan mutu layanan
kesehatan.
Sekretariat Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia – Dr. M.
Adib Khumaidi, SpOT, selasa (10/5) di Jakarta mengatakan, Negara tak
bisa hanya hadir di hilir saat seseorang telah lulus jadi dokter dengan
menempatkan di daerah tertentu. Pemerintah dituntut hadir mulai dari
hulu, pada proses pendidikan kedokteran.
Dengan menjadikan dokter sebagai tenaga strategis Negara, pemerintah
wajib memberi subsidi, atau bahkan menanggung biaya pendidikan mahasiswa
kedokteran. Dengan demikian, saat mahasiswa itu jadi dokter, pemerintah
lebih mudah menempatkan mereka untuk menyebar di seluruh pelosok
Indonesia.
Saat perekrutan, calon mahasiswa diberi pemahaman bahwa mereka harus
siap ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia. Oleh karena, sebagian
besar biaya pendidikan mereka sudah ditanggung Negara.
Institusi pendidikan kedokteran juga harus transparan mengenai biaya
pendidikan yang diperlukan untuk menghasilkan seorang dokter. Kemudian
pemerintah menetapkan berapa subsidi biaya pendidikan yang mampu
diberikan.
Dengan subsidi yang besar, mahasiswa tidak terbebani biaya
pendidilkan. “Saat ini, sebagian besar biaya pendidikan yang bisa
mencapai ratusan juta rupiah dibebankan kepada mahasiswa. Karena itu,
jangan salahkan mereka ketika jadi dokter kecenderungan altruism dan
sisi sosial humanism mereka menurun hukum ekonomi yang berperan,” kata
Adib.
Bagian penting dalam menetapkan dokter sebagai tenaga strategis
Negara adalah perekrutan mahasiswa kedokteran harus ketat. Institusi
pendidikan kedokteran juga harus bermutu. Tidak ada lagi FK akreditasi
A, B, dan C. Seharusnya hanya ada FK terakreditasi dan yang tidak.
“Jangan seperti sekarang yang kesannya fakultas kedokteran
diperbanyak dengan dasar kurang dokter. Padahal masalahnya adalah
distribusi dokter tidak merata,” kata Adib.
Saat menempatkan dokter di daerah, pemerintah memberikan insentif
memadai. Selain itu pemerintah harus melengkapi fasilitas kesehatan
tempat mereka bekerja.
Redistribusi dokter
Terkait tak ada instrument yang mewajibkan dokter menyebar ke daerah,
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Kementrian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, Kemenkes akan
mendorong redistribusi dokter antardaerah dalam satu provinsi. “Gubernur
bisa koordinasikan kepala daerah agar berembuk meredistribusi dokter
antarkabuoaten atau kota di satu provinsi. Hal ini berjalan di Jawa
Timur,” ujarnya.
Sejauh ini yang bisa dilakukan Kemenkes adalah menutupi kekurangan
tenaga kesehatan di lokasi strategis. Itu bisa dilakukan melalui
penugasan khusus dengan program Nusantara Sehat, dokter Pegawai Tidak
Tetap, serta wajib kerja dokter spesialis yang masih sedang digodok
aturannya sekarang.
Tim Nusantara Sehat terdiri dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan,
tenaga kesehatan masyarakat, tenaga farmasi, tenaga kesehatan
lingkungan, tenaga gizi dan ahli laboratorium. Mereka mengisi kekurangan
tenaga kesehatan di daerah terpencel, perbatasan dan kepulauan.
Adapun wajib kerja dokter spesialis baru akan diberlakukan pada empat
bidang spesialis yakni dokter spesialis anak, penyakit dalam, bedah,
kebidanan dan kandungan, serta anestesi. Setelah itu berjalan, alan
diterusnya dengan spesialis lain hingga nanti ke program dokter.
Menurut Usman, belum ada instrument pas yang bisa memaksa dokter agar
menyebar ke daerah selain wajib kerja sarjana. Namun, itu membutuhkan
kesiapan anggaran besar karena penempatan dokter ke daerah harus
disertai pemberian insentif yang layak.
“Besaran insentif bagi seorang dokter hidup laytak bersama keluarga bisa sampai Rp 20 juta per bulan,” ujarnya.
Di luar insentif, kapitasi memadai dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) berpotensi menarik dokter agar berperaktik di daerah. Sayangnya,
besaran kapitasi dinilai masih rendah per peserta JKN. Akibatnya, mereka
tak tertarik bekerja di daerah, terutama area terpencil.
Mutu pendidikan
Terkait pembenahan mutu pendidikan kedokteran, Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan, Kemristek
dna Dikti bekerja sama dengan FK yang sudah mapan untuk melaksanakan
pembinaan.Jadi pola pembinaan itu dilakukan pada FK yang baru di buka
dan FK lama yang bermasalah.
Nasir menegaskan, pihaknya tak akan menutup ataupun membekukan FK
yang dinilai bermasalah. Alasannya, pemerintah bertanggung jawab
memberikan failitas pendidikan kepada masyarakat.
Pembekuan program studi ataupun perguruan tinggi hanya dilakukan jika
lembaga itu terbukti melaksanakan tindak criminal penipuan, pemalsuan
ijazah, ataupun jual beli gelar akademis. FK yang kinerjanya buruk
umumnya bermasalah di sisi pengelolaan administrasi, bukan pendidikan.
“Jadi, mereka bisa dibina pemerintah, FK-FK besar, ataupun Kpertis
(Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta), “ ucapnya.
Sementara Ketua Umum Assosiasi Institusi Pendidikan Indonesia Hartono
mengatakan, Kemenkes, Kemristek dan Dikti, Konsil Kedokteran Indonesia,
dan pemangku kepentingan lain perlu duduk bersama untuk memetakan
berapa kebutuhan dokter di Indonesia. Dengan jumlah fakultas 83 buah,
perlu dievaluasi apakah produksi dokter kurang atau sudah berlebih.
Jika berlebih, perlu moratorium sambil mengintensfikan pembinaan FK
bermasalah. Pembinaan diperlukan agar FK-FK berakreditasi C bisa
meningkatkan status akreditasi. (ADH/DNE/MZW)
(Sumber : www. Idionlin.org dari harian Kompas edisi 11 Mei 2016, di halaman 1 dengan judul “Pendidikan Kedokteran Benahi Hulu – Hilir”)
0 komentar:
Posting Komentar